Cari Blog Ini

Minggu, 06 November 2011

Seharusnya kita sadar bahwa "berkorban" itu lebih utama daripada "berqurban"

Berkorbanlah Sebelum Berqurban 
 Oleh
AINUL YAQIN
Teringat kisah kebiasaan orang jahiliyah pada masa islam baru berani membuka selimut dalam tidurnya saat Rasulullah di Makkah, bahwa kebiasaan orang jahiliyah pada saat itu biasa membalur dengan daging unta dan darahnya di bangunan Ka’bah. Berkatalah para sahabat “Kita lebih berhak membalur baitullah” sehingga turunlah surah al_Hajj ayat 37 sebagai pembelaan Allah bagi kaum muslimin sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Sementara Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Misbahnya di bab 8 hal. 211 “orang jahiliyah tidak hanya melulurkan darahnya di Ka’bah akan tetapi mereka juga membakar dagingnya karena diyakini aroma asap daging yang membumbung tinggi ke angkasa dianggap menyenangkan tuhannya”.
Islam mensyari’atkan Qurban untuk mengenang sejarah pada masa Nabi Ibrahim ketika mengimplementasikan kedekatan sosok sebagai seorang hamba terhadap tuhannya yaitu Rabbul ‘Alamin, dan orang jahiliyah pada waktu itu juga memahami garis historis Ibrahim sebagai bapak para Anbiya’ terbukti sebagian dari orang Jahiliyah terutama diantara dari bani Quraisy ada yang menganut agama Tauhid sebagaimana agama yang dianut Nabi Ibrahim, walaupun secara aplikasinya terdapat perbedaan dalam konteks ajaran ritualnya.
Tujuan Qurban sebagaimana yang telah disampaikan Imam Ash-Shabuni dalam tafsir Al-Hikamnya ketika menafsirkan ....min sya’airillah... pada surah al_hajj ayat 36 adalah tanda-tanda syari’at yang di syari’atkan Allah kepada hamba-Nya. Dinisbatkannya syi’ar tersebut kepada Allah yaitu untuk mengagungkan. Qurban di sebut syi’ar karena untuk mendekatkan diri kepada Alah (Taqarrub ila Allah). Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115. Lebih ditegaskan lagi dalam ayat yang lain “Lan yanala Allaha Luhumuha Wala dima’uha” _tidak dapat mencapai Allah daging-dagingnya dan tidak juga darahnya_, namun yang sampai kepada Allah merupakan eksistensi yang sebenarnya yaitu selain untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah sebagai wujud implementasi pengabdian seorang hamba kepada Rabbnya.
Sejarah tersebut tentunya banyak membawa hikmah  untuk bisa merekonstruksi ibadah kita kepada Allah, selain dari pemaparan diatas ada yang seharusnya kita lebih tertarik lagi misalkan pada fokus kajian analisis tekstual tentang pembahasan Qurban, pada surah al-Kautsar ayat 2 “Fasolli li rabbika wa Anhar” (Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban),  kemudian kita temukan juga pada surah al-An’am ayat 162 yang berbunyi “Qul inna Sholati wa Nusuki wa Mahyaya wa Mamati Lillahi Rabbil ‘Alamin
(Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam), pada surah al-Kautsar ayat 2 ada kalimat Fasolli dan Anhar, _sebelum kata perintah  berqurban ada perintah untuk melakukan shalat_ demikian juga dalam surah al-An’am ayat 162 terdapat kalimat inna Sholati dan lafad Nusuki,  yang dimaksud kata Nusuki- sembelihanku adalah Qurban, sebuah keistimewaan ibadah sunnah mu’akkad _menurut Ulama’ Mayuritas_ bergandeng dengan ibadah wajib nomor 2 dari rukun Islam yaitu sholat setatusnya sebagai tiang agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) berpendapat ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.” dan sebagai solusi serta sarana ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun sangat disayangkan sekali jika mereka yang melakukan ibadah Qurban kemudian mengabaikan ibadah Sholat sebagai perintah wajib. Fakta yang berbicara ketika seorang kaya raya bergelimang harta kedatangan Bapak Ta’mir masjid untuk menawarkan berqurban disaat Eidul Adha yaitu pada yaumun nahri  mereka tidak segan-segan memenuhi permintaannya dengan satu sampai tiga sapi, sebuah etika yang perlu dijadikan cermin.
Ada misi yang terkandung dalam pesan teks kedua surah di atas yang menggandeng kedua perintah sunnah Mu’aqqad (qurban) dengan perintah wajib (sholat), yaitu peristiwa wanhar adalah merupakan peristiwa besar yang menimpa nabi Ibrahim disaat beliau disuruh menyembelih anak kesayangannya, tentu nabi Ibrohim sebagai seorang bapak yang juga dianugrahkan jiwa psikologi ke-bapak-an sangatlah bertentangana ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memilih putra dengan memilih Allah sebagai sang Khaliq, namun  jiwa ketauhidan sebagai sarana penyatuan diri Nafsul Mutma’innah dengan sang Khaliq mampu mengalahkan jiwa Nafsul lauwama, dan lebih istimewa lagi seorang anak sebagai cerminan dari anak Shaleh, nabi Isma’il sangat tulus ikhlas menerima perintah Allah untuk “dipersembahkan”  mengikuti perintah-Nya, dan  hanya beliaulah satu-satunya anak di dunia untuk dijadikan cermin kesholehannya. Dari peristiwa itulah walaupun qurban sebagai ibadah sunnah akan tetapi Allah selalu menggandengkan dengan sholat karena ibadah sholat sebagai tiang agama selalu diabaikan dan dilalaikan dalam melaksanakannya, perintah As-Sholatu Ala waktiha selalu diabaikan dan merasa enggan mengorbankan waktu untuk melakukan Sholat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah pada pembahasan di atas tentang disatukannya antara sholat dan qurban adalah sebagai implementasi kedekatan kita kepada Allah dan rasa penuh cinta serta .......,  akan tetapi alangkah lebih bijaknya jika keberanian mengeluarkan harta untuk berqurban, diiringi dengan keberaniaan untuk mengorbankan waktu sholat walaupun hanya lima sampai sepuluh menit, dalam arti lain dimulai dari mengorbankan waktu untuk  ibadah sholat dulu  kemudian diiringin dengan melakukan ibadah Qurban.  Ibarat seorang yang akan tenggelam dilautan lepas ditawarkan Emas 10 Kg. dengan sebuah Ban bekas yang berisi angin  kemudia seorang tersebut memilih Emas 10 Kg. Hanya orang tolol saja yang memilih Emas 10 Kg. Sedangkan orang cerdas akan memilih kedua-duanya, Ban bekas dan Emas 10 Kg. Dengan usaha cerdas pula untuk meraih keduanya.

Rabu, 07 September 2011

Apakah harus Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu jika mau puasa sunnah?


Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.
Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan).
Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.
Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Senin, 08 Agustus 2011


MODEL PEMBELAJARAN TUNTAS (MASTERY LEARNING)
DALAM PENCAPAIAN STANDAR KOMPETENSI SISWA
PADA PEMBELAJARAN AL-QUR’AN HADIS
DI MADRASAH ALIYAH SE KABUPATEN SUMENEP 
 Ainul Yaqin
Mahasiswa Pasca IAIN Walisongo PI Qurdis '09
Abstrak: 
Perubahan kurikulum dari berbasis isi (content-based curriculum) menjadi
kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum) mengakibatkan
perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yaitu apa yang harus diajarkan (isi)
menjadi apa yang harus dikuasai siswa (kompetensi). Indikator keberhasilan
pembaharuan kurikulum itu ditunjukkan dengan adanya perubahan pola kegiatan dan
pendekatan pembelajaran, termasuk pembelajaran Al-Qur’an Hadis. Pendekatan
dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)
berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented), (2) bertolak
dari kompetensi tamatan/lulusan, (3) berbasis pada Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar, (4) pengembangan kurikulum yang menghargai perbedaanperbedaan
(berdiferensiasi), (5) utuh dan menyeluruh (holistik), dan (6) menerapkan
prinsip model pembelajaran tuntas (mastery learning).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pembelajaran tuntas
(mastery learning) dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis (baik perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, hasil belajar dan tindak lanjut) di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep, untuk memberikan paparan yang jelas implikasi model
pembelajaran tuntas tersebut terhadap pencapaian Standar Kompetensi (SK) siswa
dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan
(field research) yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan deskriptif
kualitatif dan pengumpulan datanya menggunakan metode observasi, wawancara,
dokumentasi dan triangulasi. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif
analitis dan interpretatif, dengan model analisis interaktif mengacu kepada model
Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa Madrasah Aliyah di
Kabupaten Sumenep selama ini telah mengimplementasikan model pembelajaran
tuntas (mastery learning) sebagai upaya pencapaian SK dalam pembelajaran (Al-
Qur’an Hadis), terutama semenjak diberlakukannya KBK tahun 2004 dan KTSP
tahun 2006, namun pelaksanaannya belum maksimal dan perlu peningkatan lebih
lanjut. Secara implementatif, strategi model pembelajaran tuntas (mastery learning)
sangat memperhatikan perbedaan individu (individual difference), ditandai dengan
adanya program tindak lanjut berupa program perbaikan (remedial), pengayaan
(enrichment), dan percepatan (acceleration). Menjadi suatu keniscayaan (necessary
being) untuk dilakukan agar siswa mencapai SK secara tuntas. Upaya mencapai
ketuntasan SK itu, perlu adanya penyediaan waktu belajar yang cukup (time
allowed for learning), dan pemberian layanan yang tepat (appropriate treatment)
kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar (disability to learn). Implikasinya,
ketercapaian SK tergantung pada ketercapaian Kompetensi Dasar (KD), dan
ketercapaian KD sangat tergantung pada ketercapaian indikator, begitu juga
sebaliknya. Ketuntasan tersebut didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yang telah ditentukan dalam pembelajaran (Al-Qur’an Hadis), sehingga
siswa memiliki kompetensi dan performance yang dapat diukur (measurable) dan
dapat diamati (observable) sebagai indikator keberhasilan belajarnya secara tuntas.
Kata kunci: Model Pembelajaran Tuntas (mastery learning), Al-Qur’an Hadis,
Standar Kompetensi, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan pekerjaan besar dan bentuk investasi jangka
panjang, sedangkan hasilnya baru dapat dirasakan beberapa puluh tahun
kemudian. Pendidikan bukan sekedar proses alih budaya (transfer of culture) dan
alih pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi sekaligus sebagai proses alih
keterampilan hidup (transfer of life skills) dan alih nilai (transfer of values)1.
Tentunya hal ini memerlukan proses yang panjang diantaranya melalui
pengembangan dan penyesuaian kurikulum yang ada.
Kurikulum pendidikan di Indonesia selalu mengalami penyempurnaan dan
penyesuaian. Penyempurnaan kurikulum tersebut merupakan upaya peningkatan
mutu pendidikan. Indikator keberhasilan pembaharuan kurikulum ditunjukkan
dengan adanya perubahan pola kegiatan pembelajaran. Seperti halnya, perubahan
dari kurikulum berbasis isi (content-based curriculum) menjadi kurikulum
berbasis kompetensi (competency-based curriculum) mengakibatkan perubahan
paradigma dalam proses pembelajaran yaitu apa yang harus diajarkan (isi)
menjadi apa yang harus dikuasai siswa (kompetensi). Perubahan kurikulum
tersebut menurut Mulyasa mengakibatkan pergeseran paradigma dari pendekatan
pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan
yang berorientasi hasil atau standar (outcomes-based education), tentunya
berimplikasi pada cara guru mendesain proses pembelajaran2 (Mulyasa, 2006: 11).
Hasil dari penyempurnaan dan penyesuaian kurikulum itu, sekarang diberlakukan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Peran dan kepekaan
guru terhadap perkembangan dan perubahan kurikulum dimaksud, mendorongnya
untuk selalu mengadakan inovasi dan kreatifitas dalam menyusun strategi
pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan (joyful learning) serta penuh makna
(meaningful learning). Karena bagaimanapun bagus dan idealnya kurikulum yang
disusun, sangat bergantung pada bagaimana kemampuan pendidik (guru) untuk
mengimplementasikan dan mengembangkannya secara aplikabel dalam
pembelajaran, apapun nama dan jenis kurikulum yang digunakan.

Secara lebih khusus, diberlakukannya KTSP sebagai kurikulum berbasis
kompetensi dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor, yaitu: (1) pendidikan agama dianggap masih kurang memberikan
kontribusi terhadap pembentukan watak dan kepribadian siswa, serta belum
sepenuhnya menjadi etika dan moral dalam bertingkah laku sesuai ajaran agama,
(2) pelaksanaan pendidikan agama lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan
(kognitif), mengabaikan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan
(psikomotorik), (3) lemahnya sumber daya guru dalam mengembangkan
pendekatan, strategi, model, atau metode yang sesuai dengan kebutuhan siswa, (4)
implikasi dari ketiga hal di atas, penilaian pun lebih difokuskan pada penguasaan
materi (aspek kognitif), mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik.3 Untuk
menghindari kondisi semacam ini, tentunya diperlukan visi pendidikan Indonesia
ke depan agar memiliki generasi bangsa yang dapat merealisasikan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional.
Pendekatan dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis memiliki karakteristik
tertentu agar lebih bermutu sebagai berikut:4 (1) berorientasi pada pencapaian
hasil dan dampaknya (outcome oriented), (2) bertolak dari kompetensi
tamatan/lulusan, (3) berbasis pada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi
Dasar (KD), (4) pengembangan kurikulum yang menghargai perbedaan-perbedaan
(berdiferensiasi), (5) utuh dan menyeluruh (holistik), dan (6) menerapkan prinsip
ketuntasan belajar (mastery learning).
Mutu pembelajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat dalam
upaya mengembangkan kreatifitas dan sikap inovatif subjek didik. Untuk itu
diperlukan dan dikembangkan kemampuan (kompetensi) guru secara profesional
untuk mengelola program pembelajaran dengan strategi belajar yang kaya dengan
variasi. Strategi pembelajaran didesain oleh guru dengan segala karakteristiknya,
didasari oleh adanya perbedaan individu (individual difference) sebagai
pembelajar. Pemahaman akan adanya perbedaan individu merupakan suatu hal
yang niscaya (necessary being). Argumentasi ini dibangun karena siswa menurut
Sutrisno5 memiliki perbedaan minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan
(preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style).

Sebagai konsekuensi logis dari KTSP berbasis kompetensi, dalam
pelaksanaan pembelajaran Al-Qur’an Hadis, diperlukan adanya perubahan
pengorganisasian materi, pendekatan dan metode pembelajaran, kelengkapan
sarana dukung pembelajaran, serta sistem penilaian yang sesuai dengan tuntutan
kompetensi dasar yang ditetapkan.6 Guru yang kreatif, profesional, dan
menyenangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran, tentunya akan
mendorong siswa mencapai kompetensi belajarnya sesuai dengan karakteristik
individual masing-masing secara tuntas (mastery learning) menurut kriteria yang
telah ditentukan.
B. Paradigma Mastery Learning dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis
1. Hakikat Pembelajaran
Penggunaan istilah ”pembelajaran” ini menurut Sanjaya mengisyaratkan
bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat (student
centered) dari kegiatan pembelajaran.7 Pembelajaran itu–lanjut Sanjaya, perlu
memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai kompetensi yang
diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi
supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat (life long
education) dan mewujudkan masyarakat belajar (learning community). Secara
konsepsional penggunaan istilah pembelajaran terkait erat dengan desain
pembelajaran—terutama dalam rangka membelajarkan siswa. Untuk itu, menurut
Muhaimin, dkk.8 penggunaan istilah pembelajaran secara konsepsional memiliki
implikasi pedagogis, yaitu: Pertama, perlu diusahakan agar proses pembelajaran
yang dilakukan berlangsung secara interaktif antara siswa dengan sumber belajar.
Kedua, bagi siswa, dalam pembelajaran dapat berlangsung interaksi internal yang
melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya dengan sumber belajar.
Darsono9 dan Kunandar10 sependapat bahwa pembelajaran adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh guru dengan sedemikian rupa sehingga tingkah laku
siswa berubah ke arah yang lebih baik. Konsep pembelajaran tersebut jika
dikaitkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berbasis
kompetensi, menjadi lebih terlihat interaksi siswa dengan lingkungan secara
edukatif-operasional. Lebih lanjut Kunandar menjelaskan bahwa pembelajaran
5
dalam KTSP adalah pembelajaran di mana hasil belajar atau kompetensi yang
diharapkan oleh siswa, sistem penyampaian, dan indikator pencapaian hasil
belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai.
Berdasarkan dari beberapa pengertian pembelajaran tersebut, dapat
dipahami bahwa pembelajaran secara konsepsional mengandung pengertian yang
konstruktif, yakni titik tekannya adalah membangun dan mengupayakan keaktifan
siswa untuk mencapai kompetensi yang diinginkan. Argumen ini dibangun
berdasarkan karakteristik pembelajaran itu sendiri sebagai suatu paradigma baru
untuk membelajarkan siswa. Hal ini seperti dikemukakan oleh Naim dan Patoni
bahwa karakteristik pembelajaran adalah: (1) pembelajaran berarti membelajarkan
siswa, (2) proses pembelajaran berlangsung di mana saja, dan (3) pembelajaran
berorientasi pada pencapaian tujuan11. Karakteristik ini memberikan legitimasi
pembelajaran secara fungsional, yakni seperti yang dikemukan Ghofar dan Jamil
bahwa pembelajaran bukan menaruh perhatian pada ”apa yang dipelajari”, tetapi
lebih pada ”bagaimana membelajarkan pembelajaran”.12 Hal ini juga
mengimplikasikan bahwa tujuan pembelajaran adalah membantu orang (siswa)
untuk belajar, dan merekayasa lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi
orang yang belajar mencapai tujuannya (kompetensi).13
2. Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam Al-Qur’an Hadis di Madrasah
Aliyah
Sebagai sebuah konsep, sekaligus sebagai sebuah program, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) secara operasional memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara
individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil (learning outcomes) dan
keberagaman (difrensiasi); (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode belajar yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya
guru tetapi sumber lainnya yang memenuhi unsur edukatif; (5) penilaian
menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasan suatu
kompetensi.14 Berdasarkan hal ini, secara operasional kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) dalam Al-Qur’an Hadis merupakan bagian KTSP, yakni
merupakan suatu konsep pembelajaran yang lebih menekankan pada

pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar
performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan siswa berupa penguasaan
terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
a. Kompetensi dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah
Istilah competency berasal dari kata competen, menurut Echols dan
Shadily berarti kecakapan, kemampuan, dan kewenangan.15 Sementara menurut
Poerwadarminta kompetensi diartikan dengan kewenangan atau kekuasaan untuk
memutuskan atau menentukan suatu tindakan.16
McAhsan (1981) mendefinisikan kompetensi dengan ”Competency is
knowledge, skill, and abilities or capabilities that person achieves, which become
part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular
cognitive, affective, and psychomotor behavior” (kompetensi adalah sebuah
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang dan
telah menjadi bagian dari dirinya sehingga dapat melakukan perilaku-perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotor dengan sebaik-baiknya).17
Pengertian kompetensi dalam pembelajaran secara singkat dirumuskan
oleh Mulyasa bahwa kompetensi dalam pembelajaran merupakan perpaduan
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.18
Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam kompetensi, menurut Gordon
(1988) adalah (a) pengetahuan (knowledge), (b) pemahaman (understanding), (c)
kemampuan (skill), (d) nilai (value), (e) sikap (attitude), dan (f) minat (interest).19
Merujuk pada beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesamaan
bahwa kompetensi menunjuk pada: (1) seperangkat kemampuan standar yang
diperlukan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal, (2)
kemampuan yang dimiliki seseorang, baik kemampuan performance maupun
kemampuan rasional, (3) mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai,
(4) menekankan pada perilaku yang terukur sebagai aplikasi dari kompetensi yang
dimiliki, (5) menekankan pada outcomes, (6) kompetensi digunakan untuk
konteks tertentu yang mungkin berbeda dari tempat yang satu dan tempat yang
lainnya, (7) kompetensi merupakan tujuan dalam kurikulum yang bersifat

komplek dan menyeluruh, (8) tujuan yang ingin dicapai dalam kompetensi bukan
sekedar pemahaman materi pelajaran, tetapi lebih pada bagaimana penguasaan itu
berpengaruh pada cara bertindak dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan
Permendiknas Nomor 22 dan 23 tahun 2006, kompetensi mata pelajaran
(termasuk Al-Qur’an Hadis) terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu: 1) Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), yaitu batas kemampuan minimal yang harus dicapai
oleh siswa setelah tamat mengikuti pendidikan pada jenjang atau satuan
pendidikan tertentu. Misalnya kompetensi lulusan MA. SKL ini kemudian
dijabarkan menjadi standar kompetensi. Dilihat dari tujuan kurikulum, SKL
termasuk tujuan institusional (lembaga). 2) Standar Kompetensi (SK), yaitu batas
kemampuan minimal yang harus dicapai setelah siswa menyelesaikan proses
pembelajaran suatu mata pelajaran tertentu pada setiap jenjang atau satuan
pendidikan yang diikutinya. Misalnya, kompetensi yang harus dicapai oleh mata
pelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah. SK ini kemudian dijabarkan lebih
rinci lagi menjadi kompetensi dasar. Dilihat dari tujuan kurikulum, SK termasuk
pada tujuan kurikuler (tujuan mata pelajaran). 3) Kompetensi Dasar (KD), yaitu
batas kemampuan minimal yang harus dicapai siswa dalam penguasaan materi
pelajaran yang diberikan dalam satuan (unit) pembelajaran pada jenjang
pendidikan tertentu. KD ini kemudian dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator
keberhasilan belajar. KD ini sebelumnya disebut dengan tujuan pembelajaran
umum (TPU).
b. Pembelajaran Berbasis Kompetensi dalam Al-Qur’an Hadis di Madrasah
Aliyah
Pembelajaran berbasis kompetensi merupakan suatu proses pembelajaran
yang perencanaan, pelaksanaan dan penilaiannya mengacu kepada penguasaan
kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan agar segala upaya
yang dilakukan dalam proses pembelajaran benar-benar mengacu dan
mengarahkan siswa untuk mencapai penguasaan kompetensi yang telah
diprogramkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Terdapat beberapa hal yang melandasi perlunya diterapkan kurikulum

yang berorientasi pada kompetensi dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis, yaitu:
Pertama, adanya pergeseran sistem pembelajaran dari pembelajaran klasikal ke
pembelajaran individual. Kedua, adanya tuntutan pembelajaran tuntas (mastery
learning), yang mempersyaratkan siswa untuk menguasai seluruh kompetensi
yang ditetapkan. Ketiga, adanya asumsi baru bahwa seluruh siswa mampu
menguasai kompetensi yang ditetapkan, jika diberi waktu yang cukup dan
perlakuan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu.20
Berdasarkan hal tersebut, maka sistem pembelajaran dalam KTSP berbasis
kompetensi, pelaksanaannya diorientasikan pada upaya membelajarkan siswa
serta memfasilitasi dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Maksud dan
tujuannya adalah untuk mempermudah pencapaian kompetensi yang diharapkan
dengan memaksimalkan berbagai potensi sumber belajar (learning resourcess)
yang dimiliki sekolah, baik yang direncanakan untuk kepentingan belajar
(learning resourcess by design) maupun yang dimanfaatkan (learning resourcess
by utilization). Semua itu merupakan realisasi pendidikan berbasis luas (Broad
Based Education).
3. Landasan Konseptual Mastery Learning
a. Konsep Dasar Mastery Learning
Mastery learning dalam KTSP adalah pendekatan pembelajaran yang
mensyaratkan siswa menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun
kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.21 Pengertian ini menunjukkan bahwa
mastery learning merupakan strategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan di
dalam kelas, dengan tujuan agar sebagian besar siswa dapat menguasai tujuan
pembelajaran (kompetensi) secara tuntas22. Mastery learning merupakan proses
pembelajaran yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur, bertujuan untuk
mengadaptasikan pembelajaran pada siswa kelompok besar (klasikal), membantu
mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat pada siswa dan berguna untuk
menciptakan kecepatan belajar (rate of progress).23 Pendekatan ini bersifat
individual dan diharapkan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan pembelajaran
yang bersifat klasikal. Artinya, mastery learning merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang menganut azas ketuntasan belajar, dengan tolok ukur yang

digunakan pada pencapaian hasil belajar, yakni tingkat kemampuan siswa orang
perorang, bukan perkelas dalam mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
b. Asumsi Dasar Mastery Learning
Mastery learning—dalam KTSP berbasis kompetensi—merupakan
pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan siswa menguasai secara
tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran
tertentu. Oleh karena itu, dalam model yang paling sederhana, Carrol24
mengemukakan bahwa jika setiap siswa diberikan waktu sesuai dengan yang
diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan
waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan siswa akan mencapai tingkat
penguasaan kompetensi. Tetapi jika siswa tidak diberi cukup waktu atau dia tidak
dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat
penguasaan kompetensi siswa tersebut belum optimal.
Model ini menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree
of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan
(time actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time
needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.
Mastery learning berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat, semua
siswa mampu belajar dengan baik dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap
seluruh materi yang dipelajari. Agar semua siswa memperoleh hasil yang
maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis.25 Kesistematisan
akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisasi tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan
bimbingan terhadap siswa yang lambat mencapai tujuan (kompetensi) yang telah
ditetapkan.
c. Prinsip-Prinsip Mastery Learning
Secara tegas dapat dikatakan bahwa sistem pembelajaran yang
menggunakan prinsip mastery learning adalah tidak menerima perbedaan prestasi
belajar siswa sebagai konsekuensi perbedaan bakat26. Pada posisi ini, prinsip
mastery learning adalah menciptakan dan membelajarkan siswa untuk belajar

(learning how to learn) agar dapat mencapai tujuan pembelajaran (kompetensi).
Melalui prinsip mastery learning semua siswa akan mencapai kompetensi, hanya
saja waktu yang diperlukan berbeda.
Oleh karena itu, Gentile & Lalley (2003) mengemukakan prinsip-prinsip
utama mastery learning yaitu: (1) Kompetensi yang harus dicapai siswa
dirumuskan dengan urutan yang hirarkis, (2) Evaluasi yang digunakan adalah
penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback (umpan
balik), (3) Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
dan (4) Pemberian program pengayaan bagi siswa yang mencapai ketuntasan
belajar lebih awal.27
Berdasarkan uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa prinsip mastery
learning adalah: Pertama, ditetapkan batas minimal tingkat kompetensi yang
harus dikuasai oleh siswa. Kedua, menggunakan pendekatan Penilaian Acuan
Patokan (PAP) untuk menilai keberhasilan belajar siswa mencapai Standar
Ketuntasan Minimal (KKM). Ketiga, siswa tidak diperbolehkan pindah ke topik
atau tugas berikutnya, jika topik atau tugas yang sedang dipelajarinya belum
dikuasai sampai standar minimal. Keempat, memberikan kemampuan yang utuh,
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Kelima, setiap peserta
diberi kesempatan untuk mencapai standar minimal, sesuai dengan irama dan
kemampuan belajarnya masing-masing (individualized learning). Keenam,
disediakan program bimbingan remedial bagi peserta yang lambat (slow learner),
dan program pengayaan bagi peserta yang lebih cepat (fast learner) menguasai
kompetensi serta percepatan (acceleration) bagi anak yang superior dan istimewa.
d. Strategi Pelaksanaan Mastery Learning
Strategi mastery learning apabila dilakukan pada kondisi yang tepat, maka
semua siswa akan mampu belajar dengan baik dan dapat mencapai hasil yang
maksimal. Agar semua siswa memperoleh hasil yang maksimal, pembelajaran
harus dilakukan secara sistemastis-terstruktur, yakni tercermin dalam strategi
pembelajaran tuntas yang dilaksanakan. Strategi mastery learning menurut
Hamalik adalah suatu strategi pembelajaran yang diindividualisaikan dengan
menggunakan pendekatan kelompok (group-based approach).28 Strategi ini

memungkinkan para siswa belajar bersama-sama berdasarkan pembatasan bahan
pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, sampai tingkat tertentu, penyediaan
waktu belajar yang cukup, dan pemberian bantuan kepada siswa yang mengalami
kesulitan belajar secara tepat.
Strategi mastery learning dapat diterapkan secara tuntas sebagai upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama dalam level mikro, yaitu
mengembangkan individu dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Menurut
Mulyasa29 strategi mastery learning dapat dibedakan dari pembelajaran nonmastery
learning terutama dalam hal-hal berikut: 1) Pelaksanaan tes secara teratur
untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk
mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress test). 2) Siswa baru dapat melangkah
pada pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran
sesuai dengan patokan yang ditetapkan. 3) Pelayanan bimbingan dan penyuluhan
terhadap siswa yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran
korektif yang menurut Marrison merupakan pengajaran kembali, pengajaran
tutorial, restrukturasi kegiatan belajar dan pengajaran kembali kebiasaankebiasaan
belajar siswa, sesuai dengan waktu yang diperlukan (time needed)
masing-masing secara leluasa (time allowed for learning).
Sementara strategi mastery learning yang dikembangkan Bloom (1968)
meliputi tiga bagian, yaitu mengidentifikasi prakondisi, mengembangkan prosedur
operasional dan hasil belajar. Selanjutnya diimplementasikan dalam pembelajaran
klasikal dengan memberikan ”bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan
individual, yang meliputi: 1) Corrective Technique. Semacam pengajaran
remedial yang dilakukan dengan pemberian terhadap tujuan yang gagal dicapai
oleh siswa, dengan prosedur dan metode sebelumnya. 2) Memberikan tambahan
waktu kepada siswa yang membutuhkan atau belum menguasai bahan dan
kompetensi secara tuntas.30
e. Karakteristik Mastery Learning
Berdasarkan prinsip dan strategi mastery learning sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, maka dapat diidentifikasi karakteristik (ciri-ciri) mastery
learning, sebagai berikut: (1) pada pokoknya strategi mastery learning adalah jika

kepada para siswa diberikan waktu yang cukup, dan mereka di perlakukan secara
tepat, maka mereka akan mampu dan dapat belajar sesuai dengan tuntunan
kompetensi yang diharapkan, (2) belajar atas tujuan pembelajaran yang hendak
dicapai yang ditentukan terlebih dahulu, (3) memperhatikan perbedaan individu
(individual difference), (4) menggunakan prinsip siswa belajar aktif (active
learning), (5) menggunakan satuan pelajaran terkecil (RPP)—cremental units, (6)
menggunakan sistem evaluasi yang kontinyu dan berdasar atas kriteria.31 Evaluasi
yang digunakan bisa melalui tes (misalnya tes formatif dan sumatif) atau dalam
bentuk non tes (misalnya unjuk kerja [performance] dan portofolio).
f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mastery Learning
Para pakar pendidikan berkeyakinan bahwa sebagian besar bahkan semua
siswa mampu menguasai bahan pelajaran tertentu sepenuhnya dengan syaratsyarat
tertentu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan teori
Carrol, Bloom, Block, dan yang lainnya dapatlah diidentifikasi dan dielaborasikan
bahwa mastery learning dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, yaitu: bakat
(aptitude), ketekunan belajar (perseverance), kualitas pembelajaran (quality of
instruction), kesanggupan untuk menerima pelajaran (ability to learn), dan
kesempatan waktu untuk belajar (time allowed for learning).32
Faktor-faktor tersebut sangat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Al-
Jarnuzi dalam kitabnya yang sangat terkenal di kalangan pendidik muslim ”Ta’lim
al-Muta’allim ‘ali Thaariqat at-Ta’allum”. Al-Jarnuzi mengadopsi sebuah
gubahan sya’ir yang konon berasal dari Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:33
Berdasarkan syi’ir tersebut, dapat dipahami bahwa tidak bisa meraih ilmu
(tuntas belajar), tanpa adanya enam faktor, yaitu: (a) Adanya kesanggupan untuk
belajar (zaka’, intelligence, ability for learning), (b) Rasa ingin tahu (hirsy,
curiousity) à adanya bakat, (c) Kesungguhan/ketekunan belajar (isthiibar,
perseverance), (d) Bekal biaya (bulgah) à adanya sarana pendukung, (e)

Petunjuk guru/kualitas pembelajaran (irsyad ustaz, quality of instruction), dan (f)
Waktu yang panjang untuk belajar (thaal al-zaman, time allowed for learning).
C. Model Mastery Learning dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis Di
Madrasah Aliyah Se Kabupaten Sumenep
1. Indikator Pelaksanaan Mastery Learning dalam Pembelajaran Al-Qur’an
Hadis
Pada prinsipnya pelaksanaan strategi mastery learning dalam
pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep sama
saja dengan strategi lain yang digunakan dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis.
Hanya saja ada karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khas dan indikator
pelaksanaannya, yaitu: 1) Metode pembelajaran yang digunakan variatif dan
sangat memperhatikan perbedaan individual, sebagai upaya mencapai standar
kompetensi siswa.34 2) Peran guru, bahwa strategi pembelajaran tuntas (mastery
learning) menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong
keberhasilan siswa secara individual. 3) Peran siswa. KTSP berbasis kompetensi
sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran siswa sebagai subjek didik.
Fokus program pembelajaran bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya”
melainkan pada ”Siswa dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu,
pembelajaran tuntas (mastery learning) memungkinkan siswa lebih leluasa dalam
menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. 4) Evaluasi (Penilaian).
Sistem evaluasi menggunakan penilaian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah:
(a) ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar
(KD), (b) ulangan dapat dilaksanakan terdiri atas satu atau lebih Kompetensi
Dasar (KD), (c) hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program
remedial, pengayaan, dan program percepatan, (d) ulangan mencakup aspek
kognitif dan psikomotor, dan (e) aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori
afektif seperti pengamatan, kuesioner, skala sikap, dan sebagainya.
2. Pelaksanaan Mastery Learning dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di
Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep
a. Persiapan Pembelajaran

Persiapan pembelajaran pada hakikatnya memproyeksikan tentang apa
yang akan dilakukan. Guru yang profesional secara pedagogis adalah yang
mampu menyusun perencanaan pembelajaran dengan baik. perencanaan dalam
mastery learning didasarkan pada pemikiran bahwa sebagian besar siswa
dapat belajar dengan baik, dan guru mampu mengajar dengan baik, karenanya
perencanaan dan persiapan pembelajaran menjadi suatu keniscayaan
(necessary being) bagi setiap guru. Argumentasi ini dibangun dan sesuai
dengan sebuah jargon yang terkenal yaitu “plan what you do, and do what you
plan, then evaluate what you have planned and have done” (rencanakan apa
yang kamu kerjakan, dan kerjakan apa yang kamu rencanakan, kemudian nilai
apa yang telah kamu rencanakan dan kerjakan). Karena itu, perencanaan
pembelajaran memainkan peranan penting dalam memandu guru
melaksanakan tugas sebagai pendidik dalam melayani kebutuhan belajar
siswanya. Selain itu, perencanaan pembelajaran juga dimaksudkan sebagai
langkah awal sebelum pembelajaran berlangsung.
Persiapan pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep, dengan pendekatan mastery learning berdasarkan pada
KTSP berorientasi kompetensi menuntut aktivitas guru Al-Qur’an Hadis untuk
mempersiapkan perangkat pembelajaran, yaitu (1) menentukan tujuan dengan
mengembangkan silabus, (2) membuat program tahunan dan semester, dan (3)
membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), (4) penentuan alat dan
prosedur penilaian, dan penentuan standar perilaku dalam bentuk Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM).
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dengan KTSP berorientasi kompetensi
berdasarkan pada konsep belajar tuntas (mastery learning) menghendaki
adanya kemungkinan siswa untuk dapat mengembangkan diri secara optimal.
Oleh karena itu, penggunaan variasi strategi dan model pembelajaran sangat
ditekankan agar perbedaan individu dan kecenderungan yang ada pada siswa
dapat diakomodir dan difasilitasi dengan layanan yang baik sesuai dengan
karakteristik siswa tersebut. Selain itu, kegiatan pembelajaran dapat dirancang

tidak hanya berlangsung di dalam kelas tetapi dapat juga di luar kelas dalam
rangka mengaktifkan siswa agar mereka bisa belajar (learning how to learn).
Implementasi prinsip ini dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis dapat
dicontohkan dengan pemilihan berbagai masalah aktual yang ada di sekitarnya
secara kontekstual untuk dijadikan tema pembelajaran siswa. Siswa diberi
kebebasan untuk memilih masalah yang mereka senangi yang ada
hubungannya dengan tema pembelajaran, misalnya bahaya narkoba,
perkelahian antar pelajar, pernikahan dini, kekerasan dalam pendidikan, dan
sebagainya. Karena dalam konteks Al-Qur’an Hadis, siswa tidak hanya
dituntut menguasai materi atau kompetensi dasar tertentu, akan tetapi dituntut
pula untuk mengimplementasikan kompetensi tersebut dalam kehidupan
sehari-hari sebagai makhluk individu dan sosial sesuai dengan fungsi dan
tugasnya sebagai hamba Allah SWT.
Kegiatan pembelajaran tersebut, dilaksanakan oleh guru Al-Qur’an
Hadis sebagai upaya untuk merealisasikan atau mengimplementasikan
rancangan pembelajaran yang telah dibuat oleh guru Al-Qur’an Hadis
tersebut, baik dalam bentuk silabus, program tahunan atau semester, maupun
dalam RPP. Artinya bagaimana guru Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep menerapkan langkah-langkah dan strategi pembelajaran
untuk memberikan bantuan dan layanan pada siswa dalam mencapai
kompetensi yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Selain itu, bagaimana
langkah-langkah dan metode, serta strategi yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran Al-Qur’an Hadis di sekolah.
Langkah-langkah kongkret pelaksanaan pembelajaran Al-Qur’an Hadis
di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep dengan model mastery learning—
sebagai manifestasi unit pelajaran (cremental units) yang tertuang dalam
RPP—meliputi tiga kegiatan, yaitu: (a) kegiatan awal, (b) kegiatan inti, dan
(3) kegiatan penutup.
1) Kegiatan Awal
Kegiatan pertama yang dilakukan guru Al-Qur’an Hadis dalam
memulai kegiatan pembelajaran adalah mengkondisikan siswa dalam

“kontrak belajar” melalui kegiatan appersepsi, orientasi pembelajaran dan
pretest (tes awal).
2) Kegiatan Inti
Kegiatan ini merupakan kegiatan inti dan ruhnya pembelajaran
yang dilakukan guru dan siswa secara interrelasi-edukatif. Sebagai
perencana pembelajaran sekaligus pelaksana dan penilai kegiatan
pembelajaran yang dilakukan, pada kegiatan ini guru tidak lagi
memberikan penjelasan singkat, akan tetapi sudah masuk pada proses
telling, showing, dan doing. Pada kegiatan inilah variasi pendekatan,
strategi, dan metode yang digunakan diupayakan untuk mengantarkan
pada ketercapaian kompetensi yang diharapkan. Apalagi jika
kompetensinya memasuki wilayah afektif dan psikomotorik, strategi
pembelajaran yang menekankan pada doing atau hand menjadi sangat
penting, karena penerimaan, tanggapan, dan pemahaman nilai akan secara
otomatis berjalan dalam proses pembelajaran. Semakin bervariasi strategi
dan metode yang digunakan, maka semakin baik proses dan hasil yang
dicapai, karena tidak menjadikan jenuh, melainkan mengantarkan mereka
menikmati proses pembelajaran dengan suasana menyenangkan (joyful
learning) dan bermakna (meaningful learning)—belajar Al-Qur’an Hadis
akhirnya menjadi mengasyikan.
3) Kegiatan Penutup/Akhir
Pada kegiatan penutup ini (15 menit terakhir) guru dan siswa
melakukan tiga kegiatan, yaitu: penarikan kesimpulan, postest dan
penugasan. Pertama, membuat kesimpulan (conclusion, summary, natijah)
dilakukan untuk memperkuat apa yang telah dipahami dalam proses
pembelajaran. Kedua, melakukan postest, yaitu untuk mengukur tingkat
penguasaan kompetensi siswa sehingga dapat memberikan informasi
untuk program tindak lanjut (remedial, pengayaan, atau percepatan). Hasil
postest juga dapat dijadikan feedback (umpan balik) bagi guru untuk
melakukan perbaikan proses pembelajaran berikutnya. Postest bisa dalam
bentuk tes atau non tes, lisan atau tetulis tergantung pada kompetensi yang

dicapai dan prosedur yang telah direncanakan. Penentuan tingkat
penguasaannya bisa dilakukan oleh siswa dengan menilai dirinya sendiri
berdasarkan kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan
membandingkan antara hasil pretest dengan postest; atau membandingkan
antara kelas yang menggunakan strategi mastery learning dengan yang
tidak. Ketiga, memberikan penugasan (jika ada) pada siswa sebagai
pekerjaan rumah, baik indvidual maupun kelompok untuk persiapaan
pertemuan berikutnya, atau sebagai reinforcement (penguatan) dari apa
yang baru saja dipelajarinya.
Secara lebih sederhana, model mastery learning dalam pembelajaran
Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep tersebut pada
intinya meliputi tahapan-tahapan praktis sebagai berikut: (1) orientasi
(orientation), (2) penyajian (presentation), (3) latihan terstruktur (structured
practice), (4) latihan terbimbing (guided practice), dan (5) latihan mandiri
(independent practice).
c. Evaluasi Pembelajaran
Penilaian (evaluasi) yang dimaksud di sini merupakan padanan kata
pengukuran (assesment) yaitu sebagai proses penilaian untuk menggambarkan
prestasi yang dicapai oleh seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.35 Pelaksanaan kegiatan penilaian dalam implementasi mastery
learning sebagai karakteristik KTSP berbasis kompetensi, berpegang pada
lima prinsip penilaian sebagai berikut: (a) sistem belajar tuntas (mastery
learning), (b) menggunakan acuan kriteria (criterion-referenced test), (c)
penilaian berkelanjutan, (d) mengukur tiga ranah/aspek untuk setiap individu
siswa secara adil, dan (e) jujur dan objektif.36 Kelima prinsip penilaian
tersebut menjadi acuan pokok guru Al-Qur’an Hadis dalam melaksanakan
penilaian. kelimanya penulis jelaskan sebagai berikut:
Berdasarkan pada prinsip penilaian tersebut, guru Al-Qur’an Hadis di
Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep, senantiasa mengorientasikan
penilaian Al-Qur’an Hadis pada indikator pencapaian kompetensi dasar (KD)

dalam setiap program pembelajaran yang telah disusun. Secara
implelementatif, guru Al-Qur’an Hadis Madrasah Aliyah se Kabupaten
Sumenep dalam melaksanakan penilaian ini, diawali dengan mempersiapkan
dan menentukan prosedur dan jenis penilaian, instrumen penilaian untuk
ketiga ranah/aspek panilaian (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
Penilaian kognitif diperoleh dengan melihat kemampuan siswa dalam
menguasai materi pelajaran (kompetensi), melalui tes dan non tes (ulangan
harian, mid semester, semester, tugas individu dan kelompok), yang dilaksanakan
setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar atau beberapa kompetensi dasar
dalam waktu tertentu dengan mengacu pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang telah ditentukan. Penilaian afektif dilakukan dengan pengamatan langsung
atau tidak langsung, kuesioner, atau melalui interview. Dengan cara ini guru dapat
mengetahui bagaimana sikap, minat, dan kedisiplinan siswa dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran Al-Qur’an Hadis sekaligus bagaimana siswa
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari nilai-nilai perilaku yang telah
dipelajari itu. Karena Al-Qur’an Hadis bersifat aplikatif, harus bisa mencontoh
yang baik, dan dapat memberi contoh yang terbaik.
Secara praktis, hasil dari penilaian—dalam bentuk hasil belajar
tersebut, oleh guru dilaporkan tingkat penguasaan kompetensi siswa
berdasarkan KKM yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk penilaian aspek
kognitif dan psikomotorik secara kuantitatif dalam bentuk bilangan bulat
(rentang 0-100), sementara untuk aspek afektif secara kualitatif (predikat)
yaitu sangat baik (A), baik (B), dan cukup (C).
3. Program Tindak Lanjut Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah
Aliyah se Kabupaten Sumenep
Tingkat keberhasilan proses belajar mengajar dapat dimanfaatkan untuk
berbagai upaya diantaranya adalah berhubungan dengan perbaikan proses
pembelajaran (remedial teaching, corrective technique)—sebagai kegiatan
korektif, apabila terdapat indikasi kegagalan belajar, baik menyangkut seluruh
pokok bahasan/kompetensi atau sebagiannya saja; juga program pengayaan

(enrichment), dan program percepatan (acceleration)—sebagai kegiatan
reinforcement (penguatan). Ketiga program tersebut merupakan program tindak
lanjut—sebagai bagian yang tak terpisahkan—dalam implementasi mastery
learning pembelajaran Al-Qur’an Hadis. Ketiganya dilakukan oleh sekolah—
dalam hal ini guru Al-Qur’an Hadis —karena guru lebih mengetahui dan
memahami pencapaian kemajuan belajar masing-masing siswanya dengan cara
memberikan pelayanan yang tepat (appropriate treatment).
D. Implikasi Mastery Learning Terhadap Pencapaian Standar Kompetensi
Siswa dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah Se
Kabupaten Sumenep
1. Analisis Tujuan dan Standar Kompetensi dalam Pembelajaran Al-
Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep
Tujuan merupakan sasaran (purpose) yang harus dicapai oleh siswa dalam
proses pembelajaran. Tujuan itu harus bermanfaat bagi siswa. Ia merupakan
bentuk perilaku (behavioral objective) dan penampilan (performance objective)
yang dapat diukur (measurable) dan observable (dapat diamati). Penetapan tujuan
merupakan syarat mutlak (elan vital) bagi guru Al-Qur’an Hadis dalam memilih
pendekatan, model atau metode pembelajaran yang tepat dalam menyajikan
materi pelajaran. Tujuan ini diuraikan menjadi tujuan khusus dalam istilah
kompetensi disebut dengan indikator. Yamin (2003: 128) dalam bukunya Strategi
Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi menjelaskan bahwa standar
kompetensi (SK) harus dapat dijabarkan menjadi 3-6 kompetensi dasar (KD),
kompetensi dasar harus dijabarkan menjadi 2-5 indikator, dan setiap indikator
harus dapat melahirkan 3-5 soal ujian (lengkapnya lihat pada lampiran 1 dan 2).
Tujuan yang telah dirancang dalam bentuk kompetensi (SK dan KD) dan indikator
itu menjadi dasar untuk memilih isi pelajaran (materi pokok) untuk disampaikan
pada siswa.
a. Tujuan dan Kompetensi
Tujuan pembelajaran merupakan kemampuan atau keterampilan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses

pembelajaran tertentu. KTSP merupakan kurikulum yang berorientasi pada
pencapaian kompetensi. Artinya, tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh
siswa dirumuskan dalam bentuk kompetensi/ tujuan pembelajaran yang
spesifik dengan istilah indikator keberhasilan belajar. Rumusan indikator hasil
belajar dalam KTSP berorientasi kompetensi sangat simpel namun sangat jelas
seperti, ”Dapat mengidentifikasi hukum tajwid QS. al-Isra’: 26-27 dan QS. al-
Baqarah: 177” (Siswa tidak disebut secara eksplisist, karena sudah pasti yang
harus mencapai kompetensi adalah siswa bukan yang lainnya).
Contoh rumusan tujuan pembelajaran/indikator di atas, tampak hasil
belajar yang diharapkan adalah berupa kompetensi yang terukur (measurable)
dan observable (dapat diamati) dalam bentuk perilaku (behavior) yang
ditampilkan (performance), sehingga setiap guru Al-Qur’an Hadis bisa
menilai keberhasilan pencapaian tujuan sekaligus ketuntasan belajar siswa.
Pada posisi ini, indikator merupakan penanda ketercapaian atau
ketidaktercapaian Kompetensi Dasar (KD), begitu juga KD merupakan
penanda ketercapaian atau ketidaktercapaian Standar Kompetensi (SK).
b. Hirarki Tujuan dan Kompetensi Al-Qur’an Hadis
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Seseorang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang tertentu bukan hanya
mengetahui, tetapi juga dapat memahami dan menghayati bidang tersebut
yang tercermin dalam pola perilaku (pola pikir, pola sikap, dan pola
tindaknya) sehari-hari.
Tujuan pendidikan dan kompetensi memiliki klasifikasi, dari tujuan
yang sangat umum sampai tujuan khusus (indikator) yang bersifat spesifik dan
dapat diukur (measurable). Secara hirarki tujuan pendidikan menurut
kurikulum 1994 adalah Tujuan Pendidikan Nasional (TPN), Tujuan
Institusional (TI), Tujuan Kurikuler (TK), dan Tujuan Pembelajaran Umum
(TPU). Sedangkan pada KBK/KTSP menurut Permendiknas nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi (SI) secara hirarki terdiri dari TPN, Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar

(KD). Tugas guru dalam merancang pembelajaran agar lebih aplicable (dapat
diaplikasikan), measurable, dan observable adalah mengembangkan TPU
(dalam Kurikulum 1994) menjadi Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK), atau
mengembangkan KD (dalam KBK/KTSP 2006) menjadi indikator
keberhasilan belajar.
Berdasarkan tabel tersebut tampak jelas, secara hirarki Tujuan
Pendidikan Nasional (TPN) merupakan tujuan tertinggi dalam Sistem
Pendidikan Nasional (SPN) di Indonesia. Tujuan Institusional (TI) sekarang
dikenal dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Tujuan Kurikuler (TK)
sekarang dikenal dengan Standar Kompetensi (SK), Tujuan Pembelajaran
Umum (TPU) sekarang dikenal dengan Kompetensi Dasar (KD), sedangkan
terakhir yang dikembangkan oleh guru di sekolah sesuai dengan karakteristik
dan kondisi sekolah, yakni Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) sekarang
dikenal dengan Indikator. Kalau dilihat dari arahnya, arah ke bawah berarti
arah penjabaran tujuan/kompetensi, sedangkan arah ke atas berarti arah
pencapaian tujuan/kompetensi.
Semakin jelas dan implikatif bahwa indikator merupakan penanda
ketercapaian/ketidaktercapaian kompetensi dasar (KD), satu KD dapat
dijabarkan menjadi beberapa indikator. Indikator tercapai apabila telah tuntas
dikuasai siswa, maka implikasinya KD tercapai; jika KD sudah tercapai dan
tuntas, maka dipastikan implikasinya SK tercapai, jika SK sudah tercapai,
maka SKL (Standar Kompetensi Lulusan) juga tercapai. Begitu juga
sebaliknya, SKL belum tuntas, sebagai implikasi dari SK yang belum tercapai
dan belum tuntas, SK belum tercapai dan belum dianggap tuntas karena KD
belum tercapai, KD belum tercapai karena indikator-indikatornya belum
tercapai.
Ketuntasan yang dituntut secara ideal adalah memang 100%, artinya
semua KD dikuasasi secara tuntas dengan sempurna. Di dunia ini tidak ada
yang sempurna, yang sempurna hanya Allah SWT. Oleh karena itu, dalam
implementasi mastery learning ini, sangat mengakui perbedaan individu dan
kecepatan belajar serta ketidaksempurnaan, maka tingkat ketuntasan untuk

setiap unit pelajaran (RPP) tidak harus sama dengan tingkat ketuntasaan untuk
seluruh rangkaian unit pelajaran, dan kedua-duanya tidak dituntut sempurna
atau 100% berhasil; keberhasilan dan ketuntasan keduanya itu didasarkan pada
pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan.
c. Analisis Standar Kompetensi Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep
Standar kompetensi (SK) sebagai tujuan mata pelajaran (sebelumnya
disebut tujuan kurikuler) dan Kompetensi Dasar (KD)—sebelumnya disebut
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU), penjabarannya secara hirarkis ke bawah.
KD dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional, yaitu kata kerja
yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable). KD
merupakan penjabaran lebih lanjut dari SK, SK penjabaran lebih lanjut dari
Standar Kompetensi Lulusan (SKL), SKL—sebelumnya disebut tujuan
institusional—merupakan penjabaran dari Standar Isi (SI) dan merupakan
manifestasi dari Tujuan Pendidikan Nasional (TPN) Indonesia. Kompetensi
Dasar (KD) dalam implementasi pembelajaran, harus dijabarkan lagi menjadi
indikator-indikator keberhasilan belajar. Secara aplikatif, SK dapat dijabarkan
menjadi 3-6 KD, dan KD dapat dijabarkan menjadi 2-5 indikator, dan setiap
indikator harus dapat melahirkan 3-5 soal ujian (tes).
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa indikator merupakan penjabaran
kompetensi dasar secara spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk
mengetahui ketercapaian hasil pembelajaran. Indikator dirumuskan dengan
kata kerja operasional yang bisa dimati (observable) diukur (measurable) dan
dibuat instrumen penilaiannya. Indikator pencapaian hasil belajar berfungsi
sebagai tanda-tanda penampilan (performance) yang menunjukkan terjadinya
perubahan perilaku (behavior change) pada siswa baik kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Performance tersebut lebih spesifik dan dapat diamati.
Jika serangkaian indikator hasil belajar telah tampak pada diri siswa,
maka target Kompetensi Dasar tersebut telah tercapai. Apabila Kompetensi
Dasar (minimal) telah tercapai oleh siswa, maka target Standar Kompetensi
telah tercapai, begitu seterusnya. Begitu juga sebaliknya, apabila indikator

keberhasilan belum dikuasai (belum tuntas), maka target Kompetensi Dasar
yang dipelajari belum tercapai, secara otomatis akan berimplikasi pada
ketercapaian Standar Kompetensi. Karenanya apabila siswa belum menguasai
kompetensi dasar tertentu, maka yang besangkutan belum bisa melanjutkan
pada kompetensi dasar berikutnya, tetapi harus mengikuti program perbaikan
(remedial) sebagai ”korektif” sehingga mencapai ketuntasan minimal
sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Standar Kompetensi (SK) mata pelajaran Al-Qur’an Hadis di
Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep berisi batas kemampuan minimal
yang harus dicapai setelah siswa menyelesaikan proses pembelajaran Al-
Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep yang diikutinya. SK
ini—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—kemudian dijabarkan lebih
rinci lagi menjadi kompetensi dasar. Mengingat ruang lingkup mata pelajaran
Al-Qur’an Hadis ada 5 (lima) aspek, yaitu: al-Qur’an, Keimanan, Akhlak,
Fiqh/Ibadah, dan Tarikh, maka analisis SK mata pelajaran Al-Qur’an Hadis di
Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep juga mencakup kelima aspek
tersebut.
Standar Kompetensi (SK) tersebut apabila dianalisis berdasarkan ruang
lingkup Al-Qur’an Hadis, maka akan terlihat bahwa totalitas SK yang harus
dicapai siswa dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep adalah terdiri dari 37 SK. Berdasarkan pengamatan dan
studi dokumenter terhadap silabus yang disusun oleh guru Al-Qur’an Hadis
dan wawancara langsung, maka dapat diidentifikasi dan dideskripsikan bahwa
37 SK tersebut dijabarkan menjadi 103 KD dan 279 indikator yang harus
dicapai oleh siswa selama mengikuti pendidikan di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep. Adapun rincian dan distribusinya sebagai berikut: (1)
Kelas X, terdiri dari 12 SK, 34 KD, dan 106 indikator; (2) Kelas XI terdiri
dari 13 SK, 36 KD, dan 86 indikator; dan (3) Kelas XII terdiri dari 12 SK, 33
KD, dan 87 indikator. Sementara distribusi dan pemetaan berdasarkan
aspeknya adalah sebagai berikut: (1) Aspek al-Qur’an terdiri dari 9 SK, 27
KD, dan 73 indikator; (2) Aspek keimanan terdiri dari 6 SK, 15 KD, dan 37

indikator; (3) Aspek akhlak terdiri dari 9 SK, 27 KD, dan 78 indikator; (4)
Aspek fiqh terdiri dari 7 SK, 20 KD, dan 59 indikator; dan (5) Aspek tarikh
terdiri dari 6 SK, 14 KD, dan 32 indikator
Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa standar kompetensi dapat
dicapai apabila siswa telah menyelesaikan kompetensi dasar secara tuntas
(mastery), kemudian kompetensi dasar akan bisa dicapai apabila telah
menyelesaikan indikator secara tuntas. Tampak pula tahapan pembelajaran
yang ditempuh secara sistematis dan terarah untuk menyelesaikan dan
menguasai kompetensi yang harus dikuasai secara individual, apabila tahapan
pertama belum tuntas, maka ia tidak boleh melanjutkan pada tahapan
kompetensi berikutnya. Implikasinya, apabila standar kompetensi di kelas X
atau XI belum tuntas, maka ia tidak boleh naik ke kelas berikutnya yang lebih
tinggi, tetapi harus mengikuti program perbaikan (remedial) atau—meminjam
istilah Bloom disebut “corrective technique”—untuk mencapai ketuntasan
minimal yang telah ditentukan berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) pada kelas yang bersangkutan. Bahkan dalam skala kecil misalnya
dalam satu unit pelajaran (RPP) siswa belum mencapai ketuntasan pada KD
tertentu, maka ia tidak boleh mengikuti KD pada unit pelajaran berikutnya
sebelum ia mencapai ketuntasan minimal pada KD yang bersangkutan dengan
mengikuti program perbaikan (remedial teaching, corrective technique).
2. Pengembangan KKM dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah
Aliyah se Kabupaten Sumenep
Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah
menggunakan acuan kriteria (criterion referenced). Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) adalah kriteria paling minimal untuk menyatakan siswa mencapai
ketuntasan37. Kriteria ketuntasan menunjukkan prosentase pencapaian ketuntasan
sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus) sebagai kriteria
ketuntasan ideal. Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat rentang 0–
100. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai minimal 75. Dalam
hal ini, satuan pendidikan (Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep) dapat
25
memulai dari KKM minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan
secara bertahap setiap tahunnya. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal
mungkin untuk melampaui KKM yang telah ditetapkan. Keberhasilan pencapaian
KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Penetapan KKM ini dilakukan dalam forum Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) setelah dilakukan analisis ketuntasan belajar minimal dengan
memperhatikan kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa untuk mencapai
ketuntasan kompetensi Dasar (KD) dan Standar Kompetensi (SK). Nilai KKM
setiap KD merupakan rata-rata nilai setiap indikator yang terdapat dalam KD
tersebut. Implikasinya, siswa dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar untuk
KD tertentu apabila yang bersangkutan telah mencapai ketuntasan belajar minimal
yang telah ditetapkan untuk seluruh indikator pada KD tersebut.
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap Standar Kompetensi (SK)
merupakan rata-rata KKM dari KD yang terdapat dalam SK tersebut. Sedangkan
KKM mata pelajaran (Al-Qur’an Hadis) merupakan rata-rata dari semua KKMSK
yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan
dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS/Rapor) sebagai laporan
kepada orang tua/wali siswa.
Jadi, KKM yang harus dikembangkan oleh guru Al-Qur’an Hadis atau
forum guru mata pelajaran Al-Qur’an Hadis di sekolah ada empat yaitu: KKM
indikator, KKM-KD, KKM-SK, dan KKM mata pelajaran Al-Qur’an Hadis.
Adapun penetapan KKM ini dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut: (1) Tingkat kompleksitas, yaitu kesulitan dan kerumitan setiap
indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai siswa. (2)
Daya dukung, yaitu kemampuan sumber daya pendukung dalam
penyelenggaraan pembelajaran di sekolah yang bersangkutan. (3) Intake siswa,
yaitu tingkat kemampuan rata-rata (intake) siswa di sekolah yang bersangkutan.38
Intake merupakan tingkat kemampuan rata-rata siswa yang meliputi hasil seleksi
penerimaan siswa baru (PSB), Nilai Ujian Nasional/Sekolah, dan rapor
26
SMP/MTs. Sedangkan untuk kelas XI dan XII berdasarkan pada kemampuan
siswa di kelas sebelumnya.
Setelah penentuan KKM indikator, maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana menentukan KKM mata pelajaran, KKM-SK, KKM-KD, dan indikator
secara tabulasi. Berikut penulis sajikan penentuan KKM per KD dan Indikator,
lalu bisa ditentukan KKM-SK dan KKM mata pelajaran Al.
KKM masing-masing indikator dapat ditentukan dengan memperhatikan
kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa dengan skornya masing-masing.
Rata-rata KKM indikator yang ada, maka menjadi KKM Kompetensi Dasar (KD).
Setelah KKM-KD diketahui maka KKM Standar Kompetensi (SK) juga mudah
diketahui, yaitu rata-rata dari KKM-KD yang ada pada SK tersebut, dan begitu
seterusnya. Terakhir, setelah KKM-SK diketahui seluruhnya untuk satu semester
atau satu tahun, maka dapat ditentukan KKM mata pelajaran Al-Qur’an Hadis,
yang akan dimasukkan dalam Laporan Hasil Belajar (LBH/Rapor) siswa dan
dilaporkan pada orang tua. Keempat KKM tersebut harus disosialisaikan pada
siswa dan orang tua serta disyahkan oleh pihak sekolah.
3. Implikasi Mastery Learning Terhadap Pencapaian Standar Kompetensi
Pada dasarnya hidup manusia ini hanyalah sekedar mengadakan pilihan
(life is just a matter of choice), dalam terminologi al-Qur’an disebut dengan
konsep “ikhtiar” (lihat Q.S. al-Ra’d [13]: 11). Di sinilah para guru berperan untuk
memberikan preference (menentukan pilihan) yang terbaik bagi para siswanya
dalam mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan yang
benar. Strategi pembelajaran mana yang secara edukatif dapat membangun
karakter (educating for characters building) siswa untuk menguasai kompetensi
secara tuntas dengan cara-cara yang konstruktif-edukatif, bermakna (meaningful
learning), dan menyenangkan (joyful learning), serta menciptakan suasana belajar
bagaimana agar bisa belajar (learning how to learn). Menghindarkan sejauh
mungkin kesalahan mendidik (demagog), atau—meminjam istilah Halim (1985:
80)—disebut ”wan-edukasi” (dis education). Menghindarkan pembelajaran yang
dapat merusak karakter secara destruktif (merusak) dalam mencapai ketuntasan

belajar dan penguasaan kompetensi yang diharapkan. Artinya, pembelajaran
diarahkan pada pemberdayaan (empowering) segala potensi siswa dengan segala
karakteristik dan perbedaannya. Di sini jelas sebagaimana Muhadjir (1993: 17)
menjelaskan bahwa program pendidikan harus mampu menumbuhkembangkan
daya kreativitas siswa, melestarikan nilai-nilai Ilahi, serta membekali siswa
dengan kemampuan (kompetensi) yang produktif. Hal ini berarti pembelajaran Al-
Qur’an Hadis ketuntasannya dapat berorientasi mondial (duniawi) dan
transendensi-immanensi (ukkrawi), artinya sebagai usaha perbaikan kualitas
manusia yang berkesinambungan (continuous quality improvement) agar memiliki
nilai jual (marketable) di masyarakat, bahagia dunia dan bahagia di akhirat.
Argumentasi tersebut menjadi penting terhadap implementasi mastery learning
dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis, implikasinya terhadap pencapaian Standar
Kompetensi (SK) yang telah ditetapkan. Implikasinya adalah sebagai berikut:
a. Dalam kondisi yang optimal (faktor pendukung lengkap), sebagian besar
siswa menguasai KD dan SK secara tuntas.
b. Guru bertugas mencari setiap kemungkinan untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang optimal termasuk waktu, metode, media serta umpan balik
(feedback) bagi siswa.
c. Siswa adalah individu-individu yang berbeda, oleh karena itu kondisi optimal
masing-masing individu berbeda, secara otomatis bentuk pelayanan yang
diberikan juga berbeda. Karena individu siswa memiliki gaya dan kecepatan
belajar yang berbeda, hasilnya pun bisa berbeda.
d. Siswa seharusnya mengerti hakikat tujuan serta prosedur pembelajaran. Oleh
karena itu, perumusan tujuan pembelajaran dalam bentuk indikator sebagai
penjabaran KD, harus disosialisikan pada siswa agar siswa kompetensi apa yang
harus dikuasai dan pembelajaran yang bagaimana yang akan dilaksanakan.
e. Sangat bermanfaat bila pelajaran diperinci dalam satuan-satuan pelajaran yang
terkecil, dengan cara membuat RPP dan selalu diadakan post test setelah akhir
satuan pelajaran sebagai umpan balik (feedback).
28
f. Kegiatan pembelajaran akan lebih efektif bila siswa membentuk kelompokkelompok
belajar yang kecil dan dapat bertemu secara teratur untuk saling
membantu mengatasi kesulitan dengan peer tutorial (tutor sebaya).
g. Penilaian akhir harus didasarkan pada tingkatan penguasaan Kompetensi Dasar
(KD) dan Standar Kompetensi (SK) mata pelajaran Al-Qur’an Hadis itu sendiri.
h. Program tindak lanjut (remedial, pengayaan, dan percepatan) menjadi
keniscayaan (necessary being) yang tak terpisahkan dalam mengimplementasikan
mastery learning dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis.
i. Implikasi pedagogis yang diharapkan melalui mastery learning adalah
penguasaan Standar Kompetensi secara terpadu (kognitif, afektif, dan
psikomotorik) dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep, sehingga pada akhirnya akan berimplikasi pula pada
pencapaian tujuan Pendidikan Nasional dan tujuan Pendidikan Islam itu
sendiri, baik secara mikro maupun secara makro, tentunya apabila
pembelajaran (Al-Qur’an Hadis) dilaksanakan dengan baik dan benar serta
sistematis, salah satunya dengan strategi mastery learning ini.
E. PENUTUP
Berdasarkan pada deskripsi hasil informasi dan temuan yang telah penulis
sajikan pada bagian sebelumnya, baik berasal dari data-data literatur yang terkait
dengan penelitian ini, maupun data-data yang diperoleh dari hasil penelitian di
lapangan dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Madrasah Aliyah se Kabupaten
Sumenep telah mengimplementasikan strategi/model mastery learning dalam
pembelajaran—termasuk Al-Qur’an Hadis, terutama sejak diberlakukannya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Implementasi mastery learning dalam
pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep,
ditunjukkan melalui indikator pelaksanaannya, yaitu: (a) metode pembelajaran
yang digunakan sangat variatif dan memperhatikan keunikan individual siswa.
Pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada interaksi antara siswa

dengan materi belajar secara aktif (active learning), (b) guru Al-Qur’an Hadis
bukan satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator, dan pembimbing
belajar siswa, (c) menempatkan siswa sebagai subjek didik (student centered),
dan (d) evaluasi belajarnya menggunakan asumsi bahwa semua siswa pada
hakekatnya dapat belajar apa saja, hanya saja waktu yang diperlukan berbeda
pada setiap siswa.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa implementasi mastery
learning di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep, ditandai dengan
langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan sistematis, yakni membuat
perencanaan yang baik dengan berdasar pada jargon “plan what you do, and
do what you plan, then evaluate what you have planned and have done”
(rencanakan apa yang kamu kerjakan, dan kerjakan apa yang kamu
rencanakan, kemudian nilai apa yang telah kamu rencanakan dan kerjakan).
Langkah tersebut meliputi: Pertama, persiapan pembelajaran, yakni membuat
perangkat pembelajaran. Kedua, pelaksanaan pembelajaran dalam unit terkecil
pelajaran (RPP, cremental units), meliputi: kegiatan awal, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup. Ketiga, pelaksanaan penilaian untuk mengetahui tingkat
penguasaan siswa, menggunakan penilaian berbasis kelas (classroom
assessment) dan berkelanjutan. Hal ini ditandai dengan dilaksanakannya
program tindak lanjut berupa program perbaikan (remedial teaching), program
pengayaan (enrichment), dan program percepatan (acceleration), sebagai
wujud untuk memberikan layanan yang tepat (appropriate treatment) pada
siswa dalam pembelajaran.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SK pada mata pelajaran Al-Qur’an
Hadis di Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep, pencapaiannya merupakan
suatu keniscayaan (necessary being) yang tak bisa ditawar-tawar lagi, karena
berisi batas kemampuan minimal yang harus dicapai setelah siswa
menyelesaikan proses pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah se
Kabupaten Sumenep yang diikutinya. SK tersebut dijabarkan dalam
Kompetensi Dasar (KD) dan KD oleh guru dijabarkan secara lebih operasional
menjadi indikator keberhasilan belajar. Pencapaian indikator hasil belajar ini,

akan berimplikasi pada tingkat kemampuan dan performance siswa orang
perorang yang dapat diukur (measurable) dan diamati (observable), bukan
kemampuan perkelas sebagai indikator keberhasilan belajarnya. Sehingga
implikasi selanjutnya, siswa boleh melanjutkan ke kompetensi berikutnya
setelah dinyatakan tuntas pada kompetensi sebelumnya.
Secara praktis menunjukkan bahwa implikasi mastery learning pada
upaya pencapaian SK siswa dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis di
Madrasah Aliyah se Kabupaten Sumenep, didasarkan pada KKM yang
ditetapkan guru/forum guru dengan mempertimbangkan kompleksitas materi,
intake (kemampuan rata-rata) siswa, dan daya dukung sekolah. Ketercapaian
atau ketidaktercapaian SK itu akan sangat tergantung pada ketercapaian atau
ketidaktercapaian KD, dan ketercapaian atau ketidaktercapaian KD juga
sangat tergantung pada ketercapaian atau ketidaktercapaian indikator
keberhasilan belajar. Bahkan lebih jauh lagi, apabila SK telah tercapai—
berdasarkan KKM—akan berimplikasi pula pada pencapaian Standar
Kompetnsi Lulusan (SKL), dan apabila SKL tercapai, maka Tujuan
Pendidikan Nasional (TPN) juga bisa tercapai, sehingga pada akhirnya tujuan
pendidikan Islam39 secara khusus diharapkan bisa tercapai pula, begitu pula
sebaliknya.
1 Tim Peneliti Depag RI, Pedoman Penilaian Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi di Sekolah Menengah Atas, Jakarta: Departemen Agama RI, Balitbang Agama dan
Diklat Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2004, hlm. 10; Azizy, A.
Qodry, Pendidikan [Agama] Untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2002, hlm.
19; Karim, M. Rusli, ”Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa
(Editor), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991,
hlm. 27.
2 Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakter, dan Implementasi,
Bandung: PT. Remamaja Rosdakarya, 2006, hlm. 11.
3 Depdiknas, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian, Jakarta: Dirjen
Dikdasmen: Direktorat Dikmenum.2003, hlm. 3; Depdiknas, Model Penilaian Kelas Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Dirjen Dikdasmen: Direktorat Dikmenum, 2007, hlm. 3-4.
4 Tim Peneliti Depag, op.cit., hlm. 17-18.
5 Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia, Membahas tentang Metode dan Teknik
Berbasis Kompetensi, Yogyakarta: Ar-ruz, 2005, hlm. 63.
6Ada tiga faktor penting menurut Supriyoko (Kompas, 9 Juli 2002), yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pendidikan, yaitu: (1) hardware, (2) software, dan (3) brainware. Hardware
meliputi ruang belajar, peralatan praktek, laboratorium, perpustakaan. Software, misalnya

kurikulum, program pembelajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran. Brainware antara
lain guru, kepala sekolah, siswa, dan orang-orang yang terkait dalam pembelajaran. Dari sekian
faktor tersebut, yang paling penting dan menentukan adalah faktor guru.
7Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 103.
8Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, hlm. 183.
9 Darsono, Max, dkk., Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Press, 2001, hlm. 24.
10 Kunandar, 2007, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007,
hlm. 287.
11 Naim, Naginun dan Achmad Patoni, Materi Penyusunan Desain Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 66.
12 Ghofar, Irfan Abdul dan Muhammad Jamil, Reformulasi Rancangan Pembelajaran
Agama Islam: Pedoman Dosen dan Mahasiswa, Jakarta: Nur Insani, 2003, hlm. 22.
13Lihat Sanjaya, op.cit., hlm. 58.
14 Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, 2001, Pembelajaran Contextual (Contextual
Teaching and Learning) dan Penerapannya dalam KBK, Malang: Universitas Negeri Malang,
2003, hlm. 99; Mulyasa, op. cit., hlm. 42; Depdiknas, The Mastery Learning for the 2004
Curriculum, Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003, hlm. 10;
Tim Peneliti Depag, op.cit., hlm. 17.
15 Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996,
hlm. 132.
16 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1997, hlm. 518.
17 Mulyasa, op. cit.,, hlm. 38.
18 Ibid, hlm. 37
19 Ibid, hlm. 38-39.
20 Tim Depag RI, op.cit, hlm. 17 ; Mulyasa, op.cit, hlm. 40-41.
21 Depdiknas, Pedoman Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning), Jakarta: Dirjen
Dikdasmen: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2004, hlm. 12.
22 Lihat Mulyasa, op.cit, hlm. 53; Kunandar, op.cit., hlm. 237.
23 Lihat lebih lanjut Depdiknas, The Mastery Learning for the 2004 Curriculum, Jakarta:
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003, hlm. 1; Yamin, Martinis, 2006,
Sertifikasi Profesi Keguruan di Indoenesia, Jakarta: Gaung Persada Press, 2006, hlm. 136; juga
Yamin, Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung Persada Press,
2007, hlm. 121.
24 Depdiknas, Pedoman Pembelajaran Tuntas ......................, hlm. 12.
25 Mulyasa, op. cit.,, hlm. 53.
26 Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008, hlm. 53; Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Bandung : Bumi Akasara, 2003, hlm.
84.
27 Depdiknas, Pedoman Pembelajaran Tuntas ......................, hlm. 14.
28 Hamalik, Oemar, op.cit., hlm. 85.
29 Mulyasa, op. cit.,, hlm. 55.
30 Lihat Yamin, Martinis, Profesional Guru dan Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung
Persada Press, hlm. 125; Mulyasa, op. cit.,, hlm. 55; dan Wena, Made, Strategi Pembelajaran
Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 184.
31 Warji, R., Program Belajar Mengajar dengan Prinsip Belajar Tuntas (Mastery
Learning), Surabaya: Institut Dagang, 1983, hlm. 32; Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di
Sekolah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, hlm. 102-104.
32 Penjelasan lebih lanjut lihat Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Bumi Aksara, 2005, hlm. 38-48.

33 Al-Jarnuzi, ”Ta’lim al-Muta’allim ‘ala Thaariqat at-Ta’allum”, Semarang: Pustaka
Alawiyah, t.t., hlm. 21.
34Maksudnya pencapaian Standar Kompetnsi (SK) dengan indikator hasil belajarnya
secara padu dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis, yakni keterpaduan antara ketiga domain dalam
diri siswa sebagai performance-nya. Keterpaduan itu menurut Jamaludin mencakup: 1) Kognitif,
yakni pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai penjabaran
dari sifat fathonah Rasulullah. 2) Afektif, yakni pembinaan sikap mental (mental attitude) yang
mantap dan matang sebagai penjabaran dari sikap amanah Rasulullah. 3) Psikomotorik, yakni
pembinaan tingkah laku (behavior) dan akhlak mulia sebagaimana penjabaran dari sifat s􀑽idiq
Rasulullah (Lihat Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008, hlm. 68.
35 Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Bandung: Rosdakarya,
1999, hlm. 141.
36 Depdiknas, Rancangan Penilaian Hasil Belajar, Jakarta: Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas,
2008, hlm. 1
37 Depdiknas, Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Atas, 2008, hlm. 3.
38 Diadaptasi dari Ibid, hlm. 6-8.
39 Setiap sistem pendidikan, dipastikan memiliki arah dan tujuan akhir yang ingin dicapai
oleh sistem itu. Begitu juga halnya sistem pendidikan Islam, tentunya tujuan didasarkan pada
sumbernya (al-Qur’an dan al-Hadits) dan pemikiran para pakar pendidikan muslim dengan
rumusan yang singkat dan sederhana agar lebih aplikatif idealisasinya. Pada konsep inilah menurut
Zuhairini tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Suasana ideal itu
tercermin pada formulasi (rumusan) tujuan akhir (ultimate aims of education) yang diformulasikan
secara singkat dan padat (Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm.
159). Tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai ’abid dan hamba Allah
yang baik (lihat an-Nahlawy, Abdurrahman, 1992, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
terj. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1992, hlm. 162; Jalal, Abdul Fattah, 1988, Asas-
Asas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1988, hlm. 119),
terbentuknya manusia yang berakhlak mulia (al-Djamali, Fadhil, 1993, Menerebas Krisis
Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, Jakarta: Golden Trayon Press, 1993, hlm. 87; al-Abrasyi,
Mohammad ’Athiyah, 1993: Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan
Johar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 103), terbentuknya kepribadian muslim
(Marimba, Ahmad D., 1986, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1986,
hlm. 19), terbentuknya manusia yang baik (Qutb, Mohammad, 1984, Sistem Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1984, hlm. 39) dan bertaqwa (Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 48).

KONSEP PENDIDIKAN PRENATAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM (DALAM AL-QUR’AN)


KONSEP PENDIDIKAN  PRENATAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM (DALAM AL-QUR’AN)
 AINUL YAQIN
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Walisongo PI QUR-DIS 
       I.            PENDAHULUAN
Jauh sebelum terbitnya sebuah konsep dari para pemikir barat dengan istilah Long Life Education, islam terlebih dahulu menghadirkan konsep dengan hadis nabi “Carilah ilmu mulai dari buayan sampai keliang lahat”  disadari ataupun tidak hal itu menunjukkan betapa pentingnya sebuah ilmu bagi setiap manusia menurut kacamata islam. Sementara antara pendidikan dengan ilmu sangatlah erat kaitannya sebab pendidikan merupakan sarana atau wadah untuk mendapatkan ilmu, dengan ilmu manusia mengetahui mana yang pantas dan yang tidak, mana yang layak dan mana yang tidak sehingga bisa membedakan diri dengan makhluk lain.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’Ulumuddin menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung bahwa ada empat macam unsur pada watak manusia yaitu :
1.      Unsur Kehewanan adalah terdiri dari nafsu, sahwat. Tujuannya agar mereka mencapai pada kesehatan badan sebagai alat dan bertanggung jawab atas kwalitas kehewanan seperti, makan, tidur dan sex.
2.      Unsur Kebuasan adalah sifat marah, ambisi, yang tujuannya untuk menjaga diri dari segala yang  dapat melukai jasmani
3.      Unsur Kenakalan diperkenalkan, unsur tersebut ada pada sekitar berumur tujuh tahun
4.      Penjelmaan unsur-unsur ketuhanan sumber kwalitas suka pada pujian, unsur tersebut lahir pada roh semenjak diciptakan.
Keempat unsur tadi tidak berkembang secara sekaligus akan tetapi berkembang secara sedikit demi sedikit (bertahap). (Hasan langgulung. Asa-asas pendidikan Islam. Pustaka al-husna baru JKT.2003)
Jika perkembangan anak hanya dibiarkan pada keempat unsur tersebut maka  untuk mengarahkan suatu hal yang tidak tahu menjadi tahu dan mengarahkan seseorang untuk lebih mengenal tuhannya, sebagaimana konsep al-Ghazali yang dikutip oleh Ibnu Rush tentang tujuan pendidikan islam adalah untuk membentuk manusia yang berkepribadian muslim yaitu manusia bertakwa dengan sebenarnya takwa kepada allah. (Abidin Ibnu Rush. Pem. Al-ghazali ttg. Pendidikan Pustaka pelajar. 1998.: 135). Oleh karena itu sangatlah dibutuhkan metode strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan sesuai yang diharapkan.
Melihat kondisi zaman sekarang yang cukup  menghawatirkan kepribadian masadepan anak dalam memahami agama maka perlu penawaran konsep pendidikan sedini mungkin yaitu prenatal (anak sebelum lahir) pendidikan prenatal tersebut dilakukan  mulai dari memilih jodoh, proses pernikahan calon bapak-ibu sianak. Pendidikan prenatal yaitu pendidikan tidak langsung karena diberikan pada ibu yang mengandung. (Uhbiyati Nur. Long Life Education. Semarang.2009: 2)
  
    II.            PERANAN KELUARGA ISLAMI TERHADAP PENDIDIKAN PRENATAL
Dalam bukunya Nur Uhbiyati diterangkan tentang penelitian DR C. Panthuramphom menyatakan bahwa janin yang diberi stimulasi pra lahir cepat mahir berbicara, menirukan suara, menyebutkan kata pertama tersenyum spontan, menulehkan kepala kearah suara orang tuanya, lebih tanggap musik dan juga mengembankan pola sosialnya lebih baik saat dia dewasa. Pendapat tersebut diamini oleh Prof. DR.H. Baihaki Ak. Menyatakan bahwa anak didalam kandungan (yang telah mendapatkan Roh)  sudah mampu merespon segala stimulus dari lingkungan luarnya . penemuan ini dapat diterima oleh ilmuan muslim karena islam telah menjelaskan bahwa ketika roh ditiupkan pada anak akan memberikan  kehidupan, sehingga memiliki daya koknitif tinggi. (Uhbiyati Nur. Long Life Education. Semarang.2009: 6) Disini  al-Quran memberikan penjelasan tentang masa kehidupan Janin. QS. Al-Mukminun:14
Artinya:  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. Al-Mukminun:14)
Sementara dalam ayat lain disebutkan:
Artinya: ……….. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan…………(QS. Az-Zumar:6)
Dari beberapa masa atau priode dalam kandungan yang bisa dididik menurut Ubes Nur Ahlisin apabila telah memenuhi 4 ayarat, diantara empat syarat itu adalah:
1)        Anak dalam kandungan adalah janin yang sudah matang sebagai bayi yang hidup dan tumbuh secara normal (teleh memiliki roh)
2)        Anak dalam kandungan yang layak mendapatkan pendidikan yaitu anak yang sudah berusia 5-6 bulan dari pembuahan (priode kegelapan tahap ke-3)
3)      Anak dalam kandungan yang tidak terganggu fisik dan psikisnya
4)      Anak dalam kandungan yang sudah diketahui letak posisi dan jenis klaminnya. (Ubes nur ahlishin. Islam mendidik anak dalam kandungan, Jakarta Gema Insan Press,2004:28)
  Pada posisi masa atau priode seperti itulah kedua orang tua berperan dalam mendidik anak, peranan tersebut tidak hanya dimiliki oleh sang Ibu yang sedang mengandungnya, atau hanya diperankan oleh suami, tidak, semuanya berperan dalam mendidik anak.
Kemudian dalam menyikapi ayat QS. An-Nisa’:34
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ………( QS. An-Nisa’:34)
Dari ayat tersebut dipahami kedudukan seorang suami diibaratkan seorang  aktor yang paling berperan untuk menjadi “Nahkoda” keluarga itu sendiri, seorang Ayah, adalah tokoh yang sangat berpengaruh terhadap terciptanya keluarga yang bahagia, tentunya bahagia dunia dan akhirat. Tugas seorang ayah adalah selain menjadi kepala rumah tangga adalah sebagai pendidik yang bertanggung jawab atas pendidikan keluarganya. Keberhasilan dan kegagalan suatu sistem pendidikan keluarga, menjadi tanggung jawab ayah. Lain halnya dengan Ibu, ibarat sebuah persuahaan, seorang Ibu layaknya seorang manager operasional pendidikan. Ibulah yang teramat dekat hubungannya dengan keluarga. Sehingga perkembangan anak baik buruknya tergantung peranan sang Ibu (walaupun tidak mutlak). Seorang Ibu sangat dominan dalam alur keluarga, karena sang Ibu adalah yang paling mengerti dan paling faham situasi di rumah. Sehingga dalam rangka menciptakan pendidikan berdasarkan syariat keislaman dilingkungan keluarga terutama pada calon anak sangatlah dipandang perlu  persiapan sedini mungkin dengan beberapa tahapan sebagaimana berikut :
A.    Tahapan  Memilih Jodoh 
Dalam pendidikan anak orang tua pemegang peranan penting  terhadap pendidikan dan kemajuan anak didik oleh karena itu maka perlu berhati-hati dalam menentukan pilihan pasangan,  setidaknya harus seagama. (A.Tafsir. cakrawala pemikiran pendidikan islam..2004: 94) 
Artinya:. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). ( QS. An-nisa: 22)
  
Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS. An-nisa: 23)
 
Termasuk juga yang diharamkan adalah mengawini wanita yang sudah bersuami disini telah ditegaskan dalam QS. An-nisa: 24Artinya:. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.( QS. An-nisa: 24)

al-Qur’an juga memberikan batasan terhadap orang-yang musyrik hal ini dibahas dalam  QS. Al-Baqarah:221
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah:221)

Pada azbabun nuzulnya ayat tersebut diriwayatkan; sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Murtsid al-Ghanawi yang meminta izin kepada nabi Muhammad SAW. Untuk menikah dengan seorang wanita  musyrik yang cantik terpandang. Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi yang bersumber pada Muqatil. (A.A.Dahlan.dkk, Asbabun Nuzul,Latar belakang turunnya Ayat2 al-quran.CV. penerbit diponogoro. Bandung.2002:73). Dapat diambil hikmahnya dari kisah hadis tersebut bahwa dalam memilih jodoh kita harus selektif jangan karena melihat mulusnya paha sintal atau mempunyai “masadepan” yang menonjol, apalagi seorang Musyrik, maka untuk mencetak anak yang  berkepribadian pendidikan islami kita harus lebih memandang pada al-Quran “….. wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik… hal ini bertujuan untuk mengarahkan pendidikan anak sedini mungkin, dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang islami.
Sebab tujuan dari pada perkawinan untuk bisa mendidik anak prenatal harus tercipta keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah sebagaimana (QS. Ar-Rum:21).
 
Artinya:  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum:21).

B.     Hubungan Suami Istri Dan Makanan Yang Pantas Dikonsumsi Keluarga Terutama Pada Masa Kehamilan

Setelah mendapatkan jodoh yang sesuai dengan syariat agama maka hubungan suami istri harus dicetak seharmunis mungkin, tidak boleh saling menang sendiri, seharusnya saling mengalah dan menghargai, sebaiknya untuk memberikan kesan yang indah pada malam pertama, langkah terbaik untuk menciptakan hubungan  harmunis dan penuh mengesankan, terdapat dalam hadis  Nabi dalam kitab Af’alul Ibad (77) yang dikutip oleh musthofa murod dalam bukunya, Rasulullah bersabda:
إذا تزوج أحدكم إمرأة أوإشترى خادما فليأخذ بناصيتها وليسم الله عز وجل وليدع بالبركة وليقل : اللهم إني أسألك من خيرها وخيرما جبلتها عليه واعوذبك من شرها وشرما جبلتها عليه,  وإذاشترى بعيرا فليأخذ بذروة سنامه وليقل مثل ذلك (رواه بخاري في كتاب أفعال العباد)
Artinya : “Jika seseorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak, maka hendaklah dia memegang ubun-ubunnya, lalu menyebut nama allah dan memohon keberkahan. Hendaklah dia mengucapkan : Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu akan kebaikannya dan kebaikan yang melekat padanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang melekat padanya. Apabila dia membeli seekor unta, maka hendaklah dia memegang ujung punuknya dan mengucapkan do’a seperti itu” (HR. Bukhari dalam kitab Af’aal al Ibaat). (Musthafa murad. Memilih pasangan dan tata cara menikah. Irsyad baitus salam.2009. Bandung:176).

Sementara juga ada tata tertip mempergauli istri sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa’:19:
4………. ÇÊÒÈ
………dan bergaullah dengan mereka secara patut.(baik) ………”( QS. An-Nisa’:19)
Ditegaskan kembali pengertian “Bil-ma’ruf ” dalam ayat berikut:š
Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS.
Al-Baqarah: 223)

Sebagaimana ayat  dan melaksanakan anjuran Hadis Rasulullah diatas, maka akan terjalinlah hubungan harmunis antara suami istri sehingga tidak akan mempengaruhi kondisi janin ketika menghadapi kehamilan dimana dalam masa hamil seorang ibu sangat sensitif dengan situasi dan lingkungan disekitarnya, keharmunisan tersebut  dapat juga menumbuhkan perkembangan positif pada kondisi kejiwaan anak prenatal dalam kandungan.
Selain seorang ibu yang telah hamil harus mendo’akan anaknya. Anak prenatal haruslah senantiasa didoakan oleh ibunya, karena setiap muslim meyakini bahwa hakikatnya Allahlah yang menciptakan anak tersebut sedangkan orang tua hanyalah sebatas yang dititipkan olehNya.
Seorang Ibu harus senantiasa memakan makanan yang halal dan baik. Karena setiap yang dimakan oleh si Ibu, secara otomatis akan berpengaruh terhadap perkembangan si anak. Selanjutnya, jika ia bermaksud agar anaknya yang prenatal lahir dan dewasa, maka ia harus menjaga benar-benar agar makanan dan minuman yang diberikan kepada anaknya itu haruslah baik dan halal. Makanan dan minuman yang halal tersebut diberinya kepada anak prenatal tentu saja melalui ibu yang mengandungnya. Firman Allah swt: (QS. Al-Maidah: 78-88)
 #qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ šcqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ   
Artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.88. (QS. Al-Maidah: 88)

Walaupun secara ilmiah tidak ada pembuktian dengan memakan barang haram itu dapat mempengaruhi kondisi prenatal pasca melahirkan, namun anak berasal dari benih pria dan wanita yang berasal dari sari pati tanah yang terkandung dalam makanan. Maka dianggap perlu memperhatikan makanan dan minuman bagi kedua orang tua sebagai ujud bentuk prilaku Edukatif terhadap calon anaknya, sementara makanan yang baik dan berkualitas sebagaimana yang telah disebut diatas dalam surat al-Ma’idah ayat 88.

Pengertian haram tersebut bukan hanya makanan yang didapat dari mencuri atau korupsi, akan tetapi daging yang disembelihpun juga haram jika ditambah dengan menyebut selain allah, hal ini ditegaskan dalam QS.al-baqarah.119:
Artinya : Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-baqarah.119)

Selain makanan yang halal dan baik juga perlu diperhatikan Gizi dan porsi makanannya, harus mengandung zat pembangun atau protein,  kalsium, zat besi, vitamin dan lain-lain.

Termasuk hal yang perlu di perhatikan disini adalah perilaku orang tua sudah dapat direkam oleh anak prenatal karena pada usia tertentu janin sudah diberi roh dan bergerak bebas dalam kandungan. Sebagaimana yang telah disebut diatas dalam QS. Al-Mukminun ayat 14.

 III.            MENUJU ANAK YANG BERKUALITAS ISLAMI DAN CERDAS

Terdapat beberapa penyebab kecerdasan anak yang hal itu perlu di lakukan sedini mungkin  termasuk semenjak masih usia prenatal antara lain disebabkan beberapa makanan, perilaku orang  tua keseharian.
Ada 8 prinsip menurut F. Rene Van de Carr MD dan Marc Rehrer dalam bukunya Nur Uhbiyati, sebagai berikut:
1.      Prinsip kerjasama
Dengan permainan-permainan belajar dan latihan stimulasi membantu orang tua dan anggota keluarga lain belajar bekerjasama untuk mencapai kesejahteraan bayi sebelum iya dilahirkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kerjasamanya setelah melahirkan
2.      Prinsip ikatan cinta Pra Lahir
Dengan memainkan permainan belajar dan melakukan latihan-latihan, orang tua dapat mengungkapkan  dan mengembangkan ikatan cinta sebelum lahir
3.      Prinsip Stimulasi Pra Lahir
Latihan-latihan pendidikan pralahir memberikan stimulasi sistimatis bagi otak dan perkembangan syaraf bayi sebelum dilahirkan. Karena membantu otak bayi menjadi lebih efisien dan menambah kapasitas belajar sebelum bayi dilahirkan.
4.      Prinsip Kesadaran pra Lahir
Latihan-latihan pendidikan pra lahir memiliki potensi mengajarkan bayi untuk menyadari bahwa tindakannya mempunyai efek, dan mempunyai potensi besar dalam mempercepat bayi belajar sebab akibat setelah bayi dilahirkan.
5.      Prinsip Kecerdasan
Program pendidikan pra lahir mencakup latihan-latihan untuk menarik minat bayi yang sedang berkembang terhadap sensasi dan urutan yang dapat dipahami sebelum kelahiran.
6.      Prinsip mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik
Mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti berbicara dengan jelas kepada bayi (mengaji al-Quran dengan jelas dan tartil), mengharapkan bayi menanggapi dan mengulang latihan-latihan tersebut dengan prasaan senang ketika masa pasca lahir
7.      Prinsip melibatkan kakak sang Bayi
Dengan ikut serta dalam latihan-latihan pendidikan pralahir, anak-anak yang lain akan merasa penting dan tidak diabaikan.
8.      Prinsip peran penting ayah dalam masa kehamilan
Pendidikan pralahir dapat dilakukan dengan mudah oleh ayah dan sang bayi akan lebih menanggapi nada dalam  suara ayah dan mempengaruhi perkembangan social anak (Nur Uhbiyati, Long Life Education pendidikan anak sejak dalam kandungan sampai lansia,Walisongo Press, Semarang, 2009 )
  Sebuah pembuktian akan peranan penting bagi pendidikan Prenatal telah dilakukan oleh DR. Stephen Carr Leon, tentang pengembangan kualitas hidup orang Israel atau orang Yahudi, kenapa terdapat banyak orang yahudi yang pintar dan berkualitas.
Menurut DR. Carr leon dari terjemahan buku H. Maaruf Bin Hj Abdul Kadir (guru besar Universitas Kebangsaan Malaysia). Apabila seorang Yahudi Hamil, maka sang ibu segera saja meningkatkan aktivitasnya membaca, menyanyi dan bermain piano serta mendengarkan musik klasik. Tidak itu saja, mereka juga segera memulai untuk mempelajari matematika lebih intensif dan juga membeli lebih banyak lagi buku tentang matematika, mempelajarinya, dan bila ada yang tidak diketahui dengan baik, mereka tidak segan-segan untuk datang ke orang lain yang tahu matematika untuk mempelajarinya. Semua itu dilakukannya untuk anaknya yang masih didalam kandungan.
Selain itu sang ibu memilih lebih banyak makan kacang, korma dan susu. Siang hari, makan roti dengan ikan yang tanpa kepala serta salad. Daging ikan dianggap bagus untuk otak dan kepala ikan harus dihindari karena mengandung zat kimia yang tidak baik untuk pertumbuhan otak si anak. Disamping itu sang ibu diharuskan banyak makan minyak ikan (code oil lever). Menu diatur sedemikian rupa sehingga didominasi oleh ikan. Bila ada daging, mereka tidak akan makan daging bersama-sama dengan ikan,karena mereka percaya dengan makan ikan dengan daging hasilnya tidak bagus untuk pertumbuhan. Makan ikan seyogyanya hanya makan ikan saja, bila makan daging, hanya makan daging saja, tidak dicampur. Makan pun, mereka mendahulukan makan buah-buahan baru makan roti atau nasi.

Ternyata kebiasaan orang Yahudi Israil tersebut dalam memakan buah-buahan sebelum makan nasi atau roti ada pada konsep hadis nabi ketika akan berbuka puasa sebagaimana riwayat hadis Sulaiman Ibnu ‘Amir Adldhabbi.
لحديث سليمان بن عامر الضبي أن رسول الله صلعم قال : إذا أفطر أحدكم فاليفطر على تمر فإن لم يجد فليفطر على ماء فإنه طهور. (رواه الخمسة وصححه ابن خزيمة وابن حبان والحاكم)
Artinya : menurut hadis Sulaiman Ibnu ‘Amir Adldhabbi, bahwa Rasulallah SAW.  bersabda: “Bila seseorang daripadamu  hendak berbuka maka berbukalah engan kurma, bila tidak ada berbukalah dengan air, karena air itu suci”. (diriwayatkan oleh lima ahli hadis serta dishahehkan oleh ibnu khazaimah, ibnu hibban dan hakim)

Sangat jelas sekali pengertian al-Quran dalam surat al-Maidah ayat 88 bahwa yang dimaksud dengan:
(#qè=ä.ur ) $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4……. ÇÑÑÈ (
 yang dimaksud “Halalan Toyyiban” adalah makanan yang halal menurut syar’i dan makanan baik adalah yang bergizi dan berprotein serta menjaga ketahanan dan kesehatan tubuh.

 IV.            PENUTUP

Implementasi  pendidikan prenatal sebenarnya diawali dengan hubungan keluarga yang sakinah awaddah warrahmah  dalam rangka mendidik anak berdedikasi tinggi terhadap agama dan orang tuanya, karena menggunakan pendidikan pembiasaan dan kebiasaan  orang tua disaat masa usia kandungan, konsep membangun keluarga yang sakinah awaddah warrahmah  termaktub dalam Firman Allah yaqinmasda@yahoo.co.idQS. Ar-Rum:21: 
 Artinya:  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum:21).
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Hj. Nur Uhbiyati dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Long Life Education…bahwa pendidikan prenatal (usia anak dalam kandunga) merupakan pendidikan yang tidak langsung karena diberikan kepada ibu yang mengandung. Termasuk juga bapak. Sehingga, dipandang perlu untuk mempersiapkan sedini mungkin, sejak tahap pencarian Jodoh yang sesuai dengan konsep al-Quran, hubungan Suami Istri,  sampai pada  hubungan berrumah tangga.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Gymnastiaras, 2005. Bandung: Khas MQ
Al-atsari Abul Ishaq. 2002 Bekal bekal menuju pelaminan mengikuti sunnah, Solo: At-Tibyan.
A. Susanto. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH.
Departemen Agama, 2009. Tafsir Alquran Tematik, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik.  Jakarta: Lajnah pentashihan Mushaf al-Quran.
Bin idris abu Abdullah Muhammad imam syafii, 2007. Ringkasan kitab al-umm. Jakarta selatan: Pustaka azzam
Munir Ahmad, 2008. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Sukses offset.
Musthafa Murad. 2009. Memilih Pasangan & tatacara menikah. Bandung: Irsyad baiyus salam.
Mulkhan munir abdul. 1994. Masalah-masalah  Teologi dan Fiqih dalam tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Roykhan.
Shaleh Q.KH. 2004. Asbabun nuzul. Bandung: CV.Penerbit.
Uhbiyati Nur Hj. 2009, Long Life Education Pendidikan anak sejak dalam kandungan sampai lansia, Semarang: Walisongo Press
Ulwan Nashihin Abdullah. 1981. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang. CV. Assyifa’
Ubes nur ahlishin. 2004. Islam mendidik anak dalam kandungan, Jakarta: Gema Insan Press,